KALAU HIDUP ADALAH PERANG, BOLEHKAH SAYA MENONTON SAJA ?
Semua dimulai di akhir SMA. Kelas tiga SMA, tepatnya. Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya memberi perhatian penuh dan rasa ingin tahu pada kata "kapitalisme". Awalnya cuma sebuah band bernama Rancid, yang mungkin tidak pernah mengucapkan kata "kapitalisme" sama sekali dalam lagunya. Tapi rasa ingin tahu saya berhasil menemukannya. Walaupun dia tersembunyi di balik lirik lagu punk yang biasa saja. Dalam punkrock, perang itu ada pada energinya. Sisanya biasa saja. Sampai akhirnya saya selesai SMA, dan masuk ke dalam perang yang lebih rumit dan jauh dari kata biasa.
Setahun kemudian, perang itu diteorikan, diberi sejarah, diberi nalar menjadi masuk akal. Dari senior-senior saya di kampus yang jelas-jelas mengakui kalau hidup mereka didedikasikan untuk hal-hal yang lebih besar dari apapun yang bisa dilihat dengan mata telanjang : Keadilan dan keinginan untuk sebuah dunia yang lebih merata. Dan untuk itulah saya sekolah dan kuliah. Untuk belajar dari yang lebih tua.
Saya mengklasifikasi kelompok-kelompok manusia di kampus saya dengan label : Kaum junkie, kaum trendi, kaum religius, kaum udik, kaum aktivis, dan kaum idealis. Dua kelompok yang terakhir sering duduk dan melakukan banyak hal bersama, tapi mereka sebenarnya berbeda. Minimal di mata saya. Dan karena (bertahun-tahun kemudian terbukti kalau ternyata) mata saya tidak bisa melihat jauh, saya tidak bisa menilai kelebihan dan kekurangan dari dunia kecil saya waktu itu, kecuali dengan cara mengalami langsung dan membaur dengan, bahkan menjadi mereka. Satu kelompok ke kelompok lainnya. Maka jadilah, walaupun tidak resmi, saya sebagai seorang junkie yang berusaha idealis dan terlihat trendi. Menjadi punk memang trendi. Punya gayamu sendiri sambil terus-menerus menghindari gaya orang lain, adalah ketrendian yang absolut.
Di masa itu, di kampus yang lebih cocok disebut miniatur dunia dan segala problemanya, saya dihadapkan lagi dengan perang yang sama. Cerita tentang kapitalisme, namun dengan bahasa yang jauh lebih rumit dari lagu punkrock manapun (kecuali Bad Religion, tentunya). Namun semakin jelas perang itu terlihat, semakin absurd semuanya terasa. Kita memperjuangkan sebuah dunia tanpa ada orang yang lebih berkuasa dari orang lainnya, dan kita memperjuangkan itu dari sebuah kampus yang penuh dengan subsidi pemerintah. Mengakui sosialisme sambil menerima subsidi yang tidak dinikmati teman-teman yang mahasiswa swasta, lebih terasa sebagai kemunafikan dibanding perjuangan.
Haruskah langkah pertama seorang mahasiswa di kampus milik negara untuk mengamini anarkisme, adalah keluar dan pindah ke kampus swasta ? Mungkin saja. Tapi masalahnya, di kota tempat saya hidup, kuliah di kampus swasta berarti masuk dalam junta-junta antar etnis, dan tawuran-tawuran yang kurang berkelas. Dan saya menolak untuk turun level dalam selera, walaupun itu cuma selera tawuran. Pilihan kedua yang ada dalam pikiran saya : Berhenti kuliah dan mulai menyanyikan balada pencari kerja tanpa ijazah sarjana. Dan sepertinya, waktu itu, pilihan kedua inilah yang lebih baik. Menjadi punk adalah bagaimana kita muncul dari kelas menengah, dan melakukan bunuh diri kelas sebagai proses pencerahan, sebelum berhak disebut punk dan menyebut jalanan sebagai rumah. Setidaknya itulah yang saya percaya dulu. Jadilah saya memutuskan berhenti kuliah dengan rasa bangga, berkeliling Indonesia untuk mengumpulkan cerita kehidupan yang sebenarnya, sambil secara konstan mengutuk kuliah saya yang terlunta-lunta, hanya untuk diselesaikan di lain kota, beberapa tahun kemudian. Di kampus swasta, tentu saja. Akhirnya saya sarjana juga. Sambil menahan malu, karena mengaku kalah dalam sebuah sub-chapter perang ini. Mengakui sistem pendidikan yang berlaku adalah sama saja dengan kalah perang dalam tingkatan kecil. Walaupun saya bersumpah tidak akan pernah menggunakan ijazahnya untuk mencari kerja, tetap saja rasa malu itu terasa. Seperti sengaja memilih jalan yang salah, seperti belajar etika perang dari musuh yang selalu tertawa.
Lalu masuklah saya dalam dunia kerja, uang bulanan, dan tuntutan untuk mampu menghidupi diri sendiri. Segera saja saya menyimpulkan, kalau semua dilema dan paradoks yang pernah saya hadapi sebelumnya, hanyalah latihan belaka. Dunia kerja adalah perang yang sesungguhnya. Tidak ada idealisme sama sekali, kalau kita bekerja jadi tukang mematikan komputer dan meng-update antivirus di kantor-kantor milik orang asing. Saya bahkan tidak berani mencuri sebiji mouse pun, bahkan mouse padnya, karena takut mendapat masalah yang ujungnya bikin pemasukan saya jauh lebih sedikit dibanding tenaga yang dikeluarkan. Hingga pada suatu malam, dalam sebuah kantor pialang saham, saat semua komputer sudah harus dimatikan, saya mengaku pada diri sendiri dan kehidupan ini, kalau saat itu saya telah resmi menjadi tukang semir sepatu para penjajah. Atau sebagai pengasah pedang yang dipakai untuk membunuh dan memperkosa dusun kecil bernama "dunia adil dan merata" yang saya percaya. Tapi kalimat yang keluar dari mulut saya hanyalah : Saya merasa terlalu kreatif untuk menjadi office boy. Maka saya menggunakan otak saya, untuk masuk lebih jauh ke dalam dunia musuh.
Setahun atau dua tahun kemudian, entahlah, saya bekerja di sebuah rumah produksi. Berpindah-pindah dari satu merk ke merk lainnya. Dan itu berlangsung lama. Dengan penuh kesadaran dan kreativitas, saya bertransformasi menjadi lendir terdepan kapitalisme. Tentu saja semua iklan mengandung kebohongan, dan tentu saja tidak ada company profile satu perusahaan pun yang dibuat tanpa majas hiperbola. Menjadi unsur yang tak terlihat dalam pembentukan sebuah kebohongan kultur industri, adalah menjadi otak dari inti kejahatan yang tak pernah diramalkan oleh rasul manapun. Kejahatan yang tak pula diramalkan dalam kalender suku Maya, walaupun mereka mampu meramalkan kiamat. Perlahan dan pasti, saya membentuk diri menjadi kotoran yang berharga tinggi, sumber dari banyak inspirasi, agar semua orang percaya pada perusahaan yang tidak bisa dipercaya, supaya orang membeli barang-barang yang tidak diperlukannya, supaya hidup semakin tamak dan perang ini semakin mendekati kekalahannya. Perang ? Perang yang mana ? Saya beralasan kalau sudah hampir melupakannya, padahal menyembunyikannya di balik baju, hanya dikeluarkan untuk ditangisi, di malam hari saat sedang sepi. Dan punkrock ? Dia berubah dari sesuatu yang suci, menjadi wahana untuk memaki diri sendiri. Saya sudah menjadi musuh dalam perang ini. Saya lah pemilik pedangnya. Dan kalian, orang-orang yang masih percaya pada kebenaran dalam ribuan versi, harus mati. Minimal kematian kalian bisa menyelamatkan bumi dari over populasi. Fatalisme mulai menjangkiti.
Walau begitu, saya masih sanggup untuk percaya pada mana yang benar, dan mana yang salah. "Ini semua cuma masalah posisi", saya masih bisa menarik apoloji. Saya masih percaya punkrock sebagai musik terbaik di dunia, lebih dari musik Jamaica. Saya masih percaya kemana harus pergi, dan apa yang harus diperbaiki, untuk mendapatkan posisi terbaik dalam menghadapi perang yang buram ini. Tapi perang untuk kehidupan yang lebih baik, adalah perang juga. Dan dimana ada perang, selalu ada darah tertumpah. Dan saya tidak mampu melihat darah, kecuali darah sendiri.
Karena seperti cerita dalam trilogi film the Matrix, begitu seorang manusia memilih untuk memahami kebenaran, maka dia tidak bisa berhenti, kecuali dengan cara berkhianat. Entah Morpheus mengetahui atau tidak, saya menelan keduanya. Pil biru dan pil merah. Hidup di dunia musuh untuk membantu kawan seperjuangan, adalah kemunafikan yang tidak bisa dibanggakan, namun bisa dimanfaatkan. Dan hari ini, sejak radio menjadi dunia saya sehari-hari, di sela-sela waktu yang semakin terasa membatasi, dan di celah-celah nafas bertempo tinggi, saya masih sempat memikirkan kontribusi apa yang bisa diberikan untuk perang ini. Namun tidak lagi menemukan jawaban apa-apa, walaupun cuma segaris kalimat apoloji, tidak ada. Yang disisakan dunia untuk saya, hanyalah celah untuk berbuat, tidak lagi untuk berbicara. Maka jadilah. Diantara puluhan lagu yang saya pilih untuk diudarakan setiap hari, masih ada beberapa yang saya dedikasikan untuk sisa percaya dalam hati. Saya menyelipkan satu dua lagu yang "baik", diantara puluhan lagu yang "harus" kalian dengarkan. Inilah saya, bekerja seperti mesin enigma, mengirim pesan-pesan yang tidak bisa langsung dicerna. Butuh mesin enigma lainnya untuk mengembalikan kode-kode dari saya menjadi kalimat sesungguhnya. Semoga kalian, para martir di garis depan sana, bisa.
Jauh sebelum saya menyadari makna kata "kapitalisme", jauh sebelum mendengar Roots Radicals-nya Rancid, ketika teman-teman saya di waktu kecil bermain bola setiap senja, saya jarang turut serta, dan lebih sering memilih naik ke atas tembok, menjadi wasitnya. Menentukan siapa yang offside, dan kapan saatnya bola keluar dari lapangan (di dekat rumah saya, bentuk lapangannya seperti empek-empek palembang, tanpa ada garis apa-apa di atasnya). Ternyata sifat itu yang saya bawa sampai hari ini. Begitu ada kejadian yang menarik, saya langsung mencari tempat tinggi. Itu sudah ada dalam badan saya. Genetika. Saya bukan orang yang menyukai olahraga, kesimpulan yang saya tarik sewaktu kecil. Saya bukan orang yang menyukai perang, terlepas dari sisi mana yang lebih layak dibela, adalah kesimpulan saya puluhan tahun berikutnya.
Dan sumpah lama untuk tidak mencari kerja dengan ijazah sarjana, masih berlaku sampai hari ini. Walaupun menjaga sumpah itu tidak membuat saya bangga sama sekali. Jangan anggap itu semacam idealisme atau perjuangan atau apa. Itu cuma lucu-lucuan yang miris, sama seperti salah satu sifat dasar musik punkrock
Komentar
Posting Komentar